BacaJogja – Anies Baswedan menyapa kampus almamaternya, Universitas Gadjah Mada (UGM), sebagai pembicara seusai Salat Tarawih di Masjid Kampus UGM pada Senin, 3 Maret 2025 malam. Sebelum memulai ceramah, Anies membuka dengan guyonan yang mengundang gelak tawa jemaah.
“Ternyata hujan tidak menghentikan langkah. Kalau cuma basah, ya hadapi saja. Dari Isya hingga Tarawih, hujan deras seperti takmir tidak pakai pawang. Alhamdulillah,” ucapnya, yang langsung disambut tawa hadirin.
Anies mengungkapkan rasa bahagianya bisa kembali ke UGM. “Saya bersyukur bisa kembali ke Gadjah Mada. Ini bukan sekadar datang ke sebuah kampus, tapi kembali ke kampung halaman. Di sini bukan hanya tempat belajar, tapi juga kampus perjuangan,” katanya.
Dalam kesempatan itu, Anies juga menyinggung kehadirannya yang terakhir kali di acara serupa dua tahun lalu. “Tahun lalu memang tidak ada undangan. Sudah tahu kenapa tidak diundang, ya? Agak sensitif waktu itu,” ujarnya sambil tersenyum, yang disambut tawa jemaah.
Baca Juga: Rekomendasi Takjil Khas Yogyakarta yang Wajib Dicoba Saat Ramadan
“Tapi sekarang sensitivitasnya sudah hilang, dan Alhamdulillah suasana di sini terang benderang. Siapa bilang gelap?” candanya, seakan mengingatkan ucapan pejabat negara tentang kondisi Indonesia.
Ketika menyinggung efisiensi anggaran, Anies bertanya, “Katanya Masjid Kampus juga kena efisiensi, ya? Mudah-mudahan mahasiswa tidak kena efisiensi.” Seorang peserta langsung menyahut, “Amin!” yang kemudian ditimpali Anies dengan, “Bukan cuma amin, perjuangkan!” Seruan itu pun disambut tepuk tangan riuh.
Anies menekankan bahwa Gadjah Mada bukan sekadar tempat belajar teori dan angka-angka, tetapi juga tempat mengasah kepekaan intelektual. “Ini tempat untuk mempertanyakan banyak hal, tempat menyalakan sinar semangat untuk Indonesia yang lebih baik,” ujarnya.
Anies Baswedan menyoroti pentingnya infrastruktur pendidikan yang dapat menumbuhkan pikiran dan menjadi tempat bagi mimpi-mimpi berkembang. Menurutnya, yang utama bukanlah fasilitas fisiknya, tetapi bagaimana fasilitas itu dapat membuat imajinasi berkembang, keberanian tumbuh, dan ketekunan meningkat.
Menurut Anies, ketika bicara infrastruktur pendidikan, jangan hanya membahas infrastruktur keras, tetapi juga infrastruktur lunak yang tak kalah penting. Apalagi, jika melihat kondisi pendidikan di seluruh Indonesia, seperti di Yogyakarta dan kota-kota besar lainnya, infrastruktur pendidikan relatif baik.
“Namun, ketika masuk ke daerah pedalaman, pegunungan, hingga kepulauan, kita masih menyaksikan minimnya infrastruktur pendidikan,” ujarnya.
Baca Juga: Daftar Menu Buka Puasa di Kampung Ramadan Jogokariyan Yogyakarta 2025
Anies kemudian menceritakan pengalamannya tahun lalu saat mengunjungi suatu daerah dalam rangka kampanye Pilpres 2024. Ia melihat langsung kondisi infrastruktur yang luar biasa beragam. Di setiap tempat yang dikunjunginya, ia mendengar banyak pertanyaan dari masyarakat, terutama para ibu.
“Yang paling banyak bertanya adalah ibu-ibu, dan mereka konsisten dengan pertanyaan yang sama di berbagai tempat. Sederhananya begini, ‘Anak saya pintar, beri beasiswa. Anak saya butuh sekolah.’ Itu pernyataan yang terus berulang dari satu daerah ke daerah lain,” ungkapnya.
Menurut Anies, para ibu yang menyuarakan hal itu berasal dari daerah yang minim infrastruktur pendidikan. Mereka sadar bahwa untuk mengubah nasib keluarga, anak-anak mereka harus mendapatkan kesempatan pendidikan. Pendidikan adalah kunci dan jalan menuju peningkatan kesejahteraan.
“Pendidikan tinggi itu seperti eskalator sosial ekonomi. Kenapa eskalator, bukan tangga? Karena kalau kita berdiri di satu titik di eskalator, kita bisa naik ke atas. Berbeda dengan anak tangga yang harus didaki dengan usaha lebih besar,” jelasnya.
Anies pun menggambarkan bagaimana imajinasi ini hadir dalam setiap keluarga di Indonesia.
“Saya sering membayangkan seorang ayah yang melihat anaknya tidur di malam hari. Dalam hatinya, ia berkata, ‘Alhamdulillah, anak saya bisa sekolah. Nanti, hidupnya tidak akan seberat saya yang harus bekerja keras siang dan malam.’ Namun, jika mereka sudah bekerja keras tetapi anaknya tidak punya kesempatan pendidikan, maka mereka akan melihat anaknya mengalami hal yang sama di masa depan,” katanya.
Baca Juga: Kebakaran Kilang Pertamina Cilacap: Asap Hitam Pekat Gegerkan Warga, Ini Penjelasan Resmi
Karena itu, menurutnya, negara harus hadir. Sumber daya untuk pendidikan tidak boleh dikurangi, sebab pendidikan adalah eskalator sosial ekonomi.
“Jangan sampai sebagian dari kita yang sudah naik eskalator ke atas kemudian lupa dengan mereka yang belum mendapatkan kesempatan,” tegasnya.
Anies juga mengajak masyarakat untuk menyadari betapa besar peran pendidikan dalam mengubah kondisi sosial dan ekonomi.
“Coba lihat hari ini, siapa saja yang menjadi pejabat dan pengambil keputusan. Bisa dicek, dulu ayah atau kakek mereka mungkin buta huruf. Sebelum Indonesia merdeka, 95 persen penduduk negeri ini buta huruf. Pendidikanlah yang mengubah kondisi sosial ekonomi,” paparnya.
Terakhir, Anies memberikan analogi tentang infrastruktur pendidikan.
“Jika infrastruktur pendidikan itu dianggap sebagai jalan, maka infrastruktur fisiknya adalah aspalnya. Jika jalannya terjal, berbatu, dan penuh hambatan, hanya mereka yang kuat—terutama secara ekonomi—yang bisa melewatinya. Namun, jika jalan itu dibuat rata dan halus, maka semua orang bisa melewatinya,” kata Anies. []






