BacaJogja – Pemerintah resmi meluncurkan Danantara sebagai strategi baru dalam pengelolaan aset BUMN. Program ini diklaim dapat menarik investasi besar dan memperkuat struktur keuangan negara. Namun, banyak pihak mempertanyakan sumber pendanaannya serta dampaknya terhadap perekonomian Indonesia yang tengah menghadapi tantangan defisit APBN.
Danantara: Isu Lama yang Kini Direalisasikan?
Dosen FEB UGM, Akhmad Akbar Susamto, M.Phil., Ph.D., menyebutkan bahwa konsep Danantara bukanlah hal baru. Program ini sebenarnya sudah lama diwacanakan, tetapi realisasinya baru dipercepat di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto.
“Mungkin ini merupakan upaya mewujudkan keinginan mertuanya yang dulu ingin mengelola aset BUMN,” ujar Akbar dalam acara Sarasehan dan Buka Bersama Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) bertema Paradoks Danantara dan Efisiensi Anggaran: Perspektif Ekonomi dan Politik Kebangsaan di Yogyakarta, Senin (17/3/2025).
Baca Juga: Heboh! Kerangka Manusia Ditemukan di Kebun Tebu Bantul, Diduga Perempuan Muda
Ekonom dari CORE Indonesia ini menjelaskan bahwa Danantara memiliki landasan hukum yang memungkinkan pemerintah menarik investasi asing. Sebelumnya, BUMN dikelola langsung oleh negara dan tercatat sebagai kekayaan nasional. Namun, dengan adanya Danantara, struktur pengelolaan berubah meskipun BUMN tetap menjadi bagian dari aset negara.
“BUMN mendapat hak istimewa dari negara. Berdasarkan laporan keuangan per 31 Desember 2023, terdapat 65 BUMN dengan total aset Rp10 ribu triliun. Namun, pada Desember 2024, jumlahnya berkurang menjadi 40, tetapi asetnya meningkat menjadi Rp14 ribu triliun. Hal ini terjadi karena beberapa BUMN digabung, seperti Pelindo 1-4 yang dilebur menjadi satu, dan sebagian lainnya ditutup,” jelasnya.
Dampak Danantara terhadap APBN
Ketua ICMI ORDA Sleman ini menambahkan bahwa kini 40 BUMN tersebut dikelola oleh Danantara, bukan lagi Kementerian BUMN. Meski begitu, Kementerian BUMN tetap memiliki hak veto terhadap aset yang dikelola.
“Danantara memiliki kewenangan untuk mengeluarkan kebijakan sendiri maupun kebijakan bersama dengan Kementerian BUMN. Beberapa kebijakan juga harus mendapat persetujuan presiden atau DPR. Pada prinsipnya, Danantara berwenang dalam investasi dan bisnis, sedangkan pengawasan dan regulasi tetap berada di bawah Kementerian BUMN,” paparnya.
Baca Juga: UGM Buka Jalur Seleksi Mandiri 2025, Cek Syarat dan Jadwal Lengkapnya!
Akbar juga menyoroti alokasi anggaran yang dialihkan ke Danantara di tengah pemangkasan APBN. Ia menyebutkan bahwa dana sekitar Rp300 triliun telah dialokasikan untuk Danantara, yang bersumber dari pemotongan sektor lain.
“Danantara ini mengorbankan sektor-sektor lain. Idealnya, modal berasal dari surplus anggaran, tetapi kenyataannya dana ini berasal dari pemotongan APBN. Saya menyebut ini sebagai ‘uang panas’,” ujarnya.
Menurutnya, jumlah Rp300 triliun sangat besar, apalagi kondisi ekonomi Indonesia saat ini tidak dalam keadaan ideal. “Untuk menutupi defisit, negara harus berutang. Saat ini, utang pokok kita mencapai Rp8.900 triliun. Jika APBN kita Rp3.000 triliun selama tiga tahun, utang itu bisa lunas—tentu dengan catatan bahwa negara tidak melakukan pengeluaran lain,” tambahnya.
Peringatan dari Pakar Hukum: Belajar dari Venezuela
Dosen Fakultas Hukum UGM, Dr. Zaenal Arifin Mochtar, S.H., L.L.M., mengingatkan bahwa Danantara bukanlah solusi ideal bagi perekonomian Indonesia. Ia menyoroti pengalaman Venezuela, di mana dana investasi yang dikelola akhirnya habis tanpa hasil yang jelas.
“Hal serupa pernah terjadi di banyak negara, termasuk Venezuela. Mereka mengelola dana besar, tetapi akhirnya tak tersisa karena pengelolaan yang tidak transparan dan pengawasan yang lemah,” ungkapnya.
Zaenal juga meragukan klaim bahwa Danantara akan mempercepat hilirisasi industri. Menurutnya, hingga kini, rencana penggunaan dana tersebut masih sebatas asumsi.
“Negara bermain di level yang tidak ideal. Mungkin saja ada prasyarat agar hukum bisa tegak dan menjadi panglima, tetapi tetap ada syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mencapainya,” pungkasnya.
Transformasi atau Risiko Baru?
Danantara hadir sebagai strategi baru dalam mengelola BUMN dengan harapan menarik investasi dan meningkatkan efisiensi. Namun, kritik terhadap sumber dana dan potensi dampaknya terhadap defisit APBN perlu menjadi perhatian. Dengan pemangkasan anggaran di sektor lain dan meningkatnya utang negara, apakah Danantara benar-benar solusi transformasi BUMN atau justru menjadi ‘uang panas’ yang berisiko tinggi? Semua bergantung pada bagaimana transparansi dan akuntabilitas program ini dijalankan di masa depan. []