BacaJogja – Poros Sumbu Filosofi Yogyakarta, yang telah diakui sebagai warisan dunia oleh UNESCO, tak hanya menyimpan nilai filosofis dalam garis lurus antara Gunung Merapi, Keraton, dan Laut Selatan. Jejaknya dimulai dari Panggung Krapyak—sebuah titik awal sakral—yang kini terletak di wilayah administratif Panggungharjo, Sewon, Bantul, dan Mantrijeron, Kota Yogyakarta.
Di sekitar Panggung Krapyak ini, terdapat kampung-kampung bersejarah yang menjadi penyangga kawasan filosofi, sekaligus saksi perjalanan panjang budaya dan kekuasaan Jawa.
Berikut lima kampung yang memiliki akar historis kuat dan menghidupi makna-makna leluhur yang terkandung dalam Poros Sumbu Filosofi:
1. Kampung Suryodiningratan: Jejak Pangeran Pecinta Seni
Terletak di Kemantren Mantrijeron, kampung ini mengambil nama dari Pangeran Suryadiningrat, putra Sri Sultan Hamengku Buwono VII dan BRAy Retno Juwito. Pangeran yang dikenal sebagai pecinta seni pertunjukan ini bermukim di kawasan tersebut semasa hidupnya. Kini, Suryodiningratan menjadi simbol kesinambungan antara seni, budaya, dan sejarah keluarga kerajaan.
2. Kampung Minggiran: Warisan Para Abdi Keputren
Kampung Minggiran dulunya dihuni oleh para Abdi Dalem yang bertugas di Keputren Keraton Yogyakarta. Nama “Minggiran” berasal dari gabungan beberapa kampung lama seperti Mijen, Keradenan, dan Keparakan Kiwa. Lokasinya yang berada di sisi selatan Keraton menjadikannya wilayah penting dalam struktur sosial masyarakat keraton.
Baca Juga: Viral! Orderan Gaib Grab Antar Perempuan ke Kuburan, Sosoknya Hilang Saat Ditoleh
3. Kampung Pugeran: Tempat Kediaman Pangeran Puger
Nama Pugeran berasal dari kata “Puger”, putra dari Sri Sultan Hamengku Buwono VI dan GKR Sultan (GKR Hageng). Kampung ini diyakini sebagai kediaman Gusti Pangeran Harya Puger. Terletak di Jalan Letjen MT. Haryono, tepat di selatan Museum Perjuangan, Pugeran menyimpan memori aristokrasi dan nilai luhur keluarga Keraton.
4. Kampung Kumendaman: Markas Para Komandan Prajurit
Di Kelurahan Suryodiningratan, terdapat Kampung Kumendaman, yang berasal dari kata “kumendam” atau “komandan”. Dahulu, tempat ini menjadi permukiman para prajurit Keraton berpangkat tinggi. Salah satu tokoh penting yang pernah tinggal di sini adalah KPH Purwodiningrat, Wedana Hageng Prajurit di era Sri Sultan Hamengku Buwono VII.
Baca Juga: Jogja Festivals Forum and Expo 2025 Dorong Diplomasi Budaya dan Ekonomi Kreatif Global
5. Kampung Ngadinegaran: Filosofi Anak Muda yang Disanjung
Ngadinegaran merujuk pada nama BPH Hadinegoro, putra dari Sri Sultan Hamengku Buwono VII dan BRAy Retnosangdjah. Kampung ini identik dengan pohon asam dan tanjung—dua tanaman yang menyimbolkan karakter anak muda yang dikagumi dan disanjung oleh sekitarnya. Filosofi ini mengakar dalam nilai-nilai pendidikan karakter dan kepemudaan.
Kelima kampung ini tidak hanya menjadi benteng budaya yang mengitari Panggung Krapyak, tetapi juga turut menjaga napas panjang sejarah Sumbu Filosofi yang hingga kini tetap hidup dalam denyut kehidupan masyarakat Yogyakarta. (Kraton Jogja)