Misteri Jalur Tengkorak Magelang–Purworejo: Menyingkap Kisah Mistis Makam Ki Angkong

  • Whatsapp
doa bersama kalijambe
Doa memperingati tujuh hari kecelakaan maut di Kalijambe Purworejo. (Ist)

BacaJogja – Di balik sunyinya pegunungan perbatasan Magelang dan Purworejo, tersimpan sebuah kisah mistis yang hidup berdampingan dengan realitas maut. Jalan menanjak yang menghubungkan Kecamatan Salaman di Magelang dengan Kecamatan Bener di Purworejo tak hanya terkenal karena curam dan panjangnya, tapi juga karena deretan kisah kecelakaan yang terjadi di sana—berbalut aroma kemenyan dan kepercayaan pada makam tua di tepi jalan.

Minggu pertama Mei 2025, suasana kembali mencekam. Sebuah truk tronton pengangkut pasir kehilangan kendali dan menabrak angkot yang mengangkut rombongan guru SD IT. Dua belas nyawa melayang, tiga lainnya luka-luka. Belum sepekan berlalu, Selasa, 13 Mei 2025, sebuah truk semen mengalami nasib serupa di lokasi yang nyaris bersisian. Rem blong kembali menjadi kambing hitam.

Read More

Namun bagi warga sekitar, kecelakaan demi kecelakaan ini bukan hanya soal fisika jalan dan teknis kendaraan. Ada sesuatu yang tak kasatmata di balik tikungan maut itu: Ki Angkong, sang penjaga jalan.

Baca Juga: Keroncong Plesiran IX di Desa Wisata Tinalah Kulon Progo, Ini Detail Tiket dan Kejutan Visualnya!

Doa, Uang Receh, dan Pohon Beringin

Ki Angkong—nama yang bagi warga Desa Margoyoso sangat familiar—diyakini sebagai sosok spiritual yang menjaga keselamatan di ruas jalan tersebut. Makamnya terletak di Dusun Sabrang, tepat di bawah pohon beringin raksasa yang akarnya membelit nisan tua. Konon, Ki Angkong adalah Kiai Ahwan, seorang tokoh yang berasal dari Yogyakarta dan memiliki hubungan dengan Keraton.

“Mulai dari nenek moyang kami sudah ada kepercayaan dari pengguna jalan untuk buang uang. Untuk mencari keselamatan disitu,” kata Zarkoni, Kepala Dusun Sabrang yang juga dikenal sebagai sesepuh desa.

Menurutnya, jika sopir tidak melempar uang saat melewati kawasan makam, maka jalan bisa terlihat “menipu”. Jalur kanan adalah jalan yang benar, sedangkan sisi kiri tampak seperti jalan, padahal jurang sedalam lebih dari 25 meter menganga di sana.

Baca Juga: Persahabatan Lama Bersemi Lagi: Anies Baswedan Kunjungi Galeri Djoko Timun di Yogyakarta

Kini, pemerintah telah memasang beton pengaman di ujung turunan. Namun kecelakaan masih kerap terjadi. “Mungkin satu minggu, satu atau dua kali kecelakaan pasti ada,” ujar Zarkoni lirih.

Ritual yang Menjadi Rutinitas

Apa yang bagi sopir adalah ikhtiar keselamatan, bagi sebagian warga menjadi rutinitas pencaharian. Kasiati, warga Dusun Sabrang, hampir tiap sore menyambangi lokasi makam untuk mencari receh yang dilemparkan sopir.

“Biasanya sopir-sopir truk yang suka buang uang. Kebanyakan koin Rp1.000. Saya biasa datang sore, nunggu sampai jam lima,” katanya.

Namun uang itu, menurut kepercayaan lokal, hanya boleh dipungut oleh warga Margoyoso. “Pernah saya ajak teman dari luar desa, dia ikut cari uang, eh malah sakit,” tambahnya.

Baca Juga: Guru Alquran dari Magelang Itu Telah Tiada: Kisah Finna dalam Tragedi Kecelakaan Maut Purworejo

Antara Mitos dan Kesadaran

Mitos Ki Angkong mungkin terdengar irasional di telinga sebagian orang. Tapi bagi warga setempat, kepercayaan ini adalah bagian dari sejarah jalan. Sebuah bentuk penghormatan terhadap leluhur dan penjaga alam.

Namun di balik semua itu, keselamatan tetap bertumpu pada kewaspadaan manusia. Pengecekan rem, beban muatan, kondisi jalan—semua harus menjadi bagian dari ikhtiar. Karena sebagaimana doa yang dipanjatkan, ikhtiar fisik dan spiritual perlu berjalan beriringan.

Sebelum menyalakan mesin dan memutar setir di jalur menanjak ini, jangan lupa berdoa, periksa kendaraan, dan… mungkin saja, lemparkan sekeping receh di tepi jalan. Entah karena percaya atau sekadar mengikuti tradisi. Karena di jalan ini, keselamatan terkadang lebih dari sekadar rem dan roda []

Related posts