Pro-Kontra Presidential dan Parliamentary Threshold

  • Whatsapp
ilustrasi putusan MK
Ilustrasi putusan MK (Istimewa)

Oleh Muhammad Chirzin

Panggung politik nasional heboh dengan penghapusan presidential threshold 20% lewat putusan MK atas gugatan yang diajukan oleh mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang tergabung dalam Komunitas Pemerhati Konstitusi. Gugatan tersebut terinspirasi oleh lolosnya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres). Mereka mengajukan gugatan tersebut karena melihat jalan anak mantan Presiden Joko Widodo itu menjadi cawapres pada Pemilu 2024 lewat putusan MK.

Read More

Para mahasiswa UIN Sunan Kalijaga tersebut sempat pesimistis saat akan mengajukan gugatan. Namun, di tengah jalan muncul putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Almas Tsaqibbirru, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta (Unsa). Saat itu, Almas mengajukan judicial review terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke MK yang kala itu masih dipimpin oleh ipar Jokowi, Anwar Usman. Gugatan Almas berkaitan dengan syarat usia capres-cawapres yang membuka jalan bagi Gibran menjadi cawapres meskipun belum berusia 40 tahun.

Baca Juga: Cara Bayar Listrik Diskon 50% Pakai Aplikasi DANA: Simpel dan Cepat!

Setelah putusan itu, Anwar Usman dinyatakan melakukan pelanggaran etik berat oleh Mahkamah Kehormatan MK. Anwar pun dicopot dari jabatannya sebagai Ketua MK. Para mahasiswa UIN Yogyakarta kembali optimistis mengajukan gugatan karena melihat putusan yang diajukan Almas Tsaqibbirru tersebut.

Meski menemukan celah, menurut Enika, salah seorang dari empat mahasiswa yang mengajukan gugatan tersebut, mereka sempat kembali pesimistis gugatannya akan dikabulkan. Hal ini tak lepas dari 32 gugatan serupa soal ambang batas yang tidak diterima oleh MK.

Enika dan kawan-kawannya juga merasa peluang untuk sidang dilanjutkan ke pokok permohonan sangat kecil. Ia menuturkan bahwa ia sempat berdiskusi dengan komunitas di kampusnya, Komunitas Pemerhati Konstitusi, soal peluang gugatan itu. Dari diskusi tersebut, sembilan orang menilai bahwa permohonan yang mereka ajukan bakal ditolak. Hanya delapan anggota komunitas yang masih yakin permohonan akan dikabulkan.

Baca Juga: Daftar Libur Nasional dan Cuti Bersama 2025: Jadwal Lengkap untuk Rencana Liburan Anda

Rekan Enika yang turut mengajukan gugatan, Rizki Maulana Syafei, mengatakan bahwa proses gugatan yang diajukan itu menjadi pelajaran berharga bagi timnya. “Ketika saat itu masyarakat dihebohkan dengan fenomena putusan Nomor 90 (yang meloloskan Gibran), maka saat ini dengan putusan ambang batas ini, kami berharap bisa membawa angin segar, kemenangan bagi masyarakat Indonesia,” ujarnya.

Dihapuskannya ketentuan soal ambang batas akan membuat publik mempunyai banyak alternatif calon presiden dan wakil presiden pada masa mendatang. Masyarakat luas sebagai pemilih memiliki hak untuk memilih calon-calon yang nantinya akan maju.

Ketika MK memutuskan penurunan ambang batas parlemen, Hidayat Nur Wahid berpendapat bahwa hal itu harus diberlakukan juga untuk presidential threshold. Menurut Hidayat NW, MK perlu berlaku adil sesuai dengan prinsip konstitusi dengan memerintahkan kepada DPR dan pemerintah untuk mengoreksi ambang batas presiden sebelum Pemilu 2029, sebagaimana yang telah dilakukan dalam putusan mengenai ambang batas parlemen.

Baca Juga: Selamat Tinggal Teman Bus Jogja, Ini Penggantinya

Koreksi terhadap ambang batas presiden diperlukan untuk meningkatkan kualitas demokrasi dan pilpres pada tahun 2029 dengan menyelamatkan kedaulatan rakyat. Banyak pihak telah mengajukan permohonan agar ambang batas presiden 20 persen dianggap tidak konstitusional dan seharusnya diturunkan persentasenya, termasuk Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berdasarkan kajian ilmiah dan prinsip demokrasi.

“Ini juga seharusnya bukan hanya berlaku terhadap parliamentary threshold yang 4 persen itu, tetapi juga mestinya diberlakukan untuk presidential threshold yang berlaku saat ini, yakni 20 persen,” kata Hidayat, Ahad, 3 Maret 2024, seperti dikutip Antara.

Dikutip dari Jurnal Hukum Responsif (2020), ambang batas parlemen adalah persyaratan minimal jumlah suara yang diperlukan bagi partai politik agar dapat memperoleh kursi di parlemen. Perhitungannya dilakukan setelah seluruh hasil penghitungan suara partai politik diketahui, kemudian dibagi dengan total suara secara nasional.

Baca Juga: BMKG: Puncak Musim Hujan di Yogyakarta Februari 2025, Waspada Banjir dan Longsor

Ambang batas parlemen pertama kali diperkenalkan pada Pemilu 2009 melalui Pasal 202 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD dengan persentase 2,5 persen. Pada Pemilu 2014, ambang batas parlemen ditingkatkan menjadi 3,5 persen. Kemudian, pada Pemilu 2019, ambang batas parlemen kembali dinaikkan menjadi 4 persen sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017.

Ambang batas parlemen bertujuan untuk mengurangi jumlah partai politik di parlemen, menyederhanakan sistem partai politik, dan menciptakan stabilitas politik. Menurut Kepala Badan Strategi Kebijakan Dalam Negeri Kemendagri, Yusharto Huntoyungo, ambang batas parlemen dapat membantu meningkatkan kinerja parlemen dan mendorong fraksi-fraksi untuk lebih memperhatikan aspirasi masyarakat.

Para pengamat dan pakar hukum mengemukakan bahwa keputusan MK tentang presidential threshold itu mengikat, berlaku sejak ditetapkan, dan tidak bisa diganggu gugat oleh pihak mana pun. Akan muncul persoalan jika Presiden bersama DPR segera memutuskan untuk kembali ke UUD 1945 asli sebagaimana tuntutan para aktivis, dan membatalkan UUD NRI 1945 hasil amandemen yang dianggap kebablasan. Undang-Undang Pemilu Tahun 2017 itu harus ditinjau kembali.

Mari kita nantikan! []

Related posts