BacaJogja – Forum Tanah Air (FTA) menyoroti tajam enam bulan masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Melalui kajian mendalam dan diskusi bersama para pakar lintas disiplin, FTA mengungkap sejumlah persoalan krusial yang dinilai belum menunjukkan perbaikan signifikan, mulai dari isu hak asasi manusia (HAM), penegakan hukum, hingga privatisasi wilayah maritim.
Ketua Umum FTA, Tata Kesantra, menyampaikan bahwa evaluasi dilakukan secara maraton sejak Maret 2025 dengan melibatkan pakar-pakar seperti Prof. Zainal Arifin Mochtar, Dr. Anthony Budiawan, Chusnul Mar’iyah, serta diaspora Indonesia dari lima benua. Evaluasi ini menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif, termasuk survei kepada jaringan FTA di 38 provinsi.
“Evaluasi ini bukan sekadar menilai gagal atau berhasil, tetapi sebagai upaya membaca arah kepemimpinan Prabowo dalam menghadapi tantangan besar warisan pemerintahan sebelumnya,” ujar Tata, Senin, 12 Mei 2025.
Baca Juga: Pelajaran dari Komentar Tak Berempati Kecelakaan Purworejo: Pernyataan Herry Poernomo Usai Ditangkap
Kemunduran Demokrasi dan Ancaman terhadap Kebebasan Berekspresi
FTA menilai perlindungan terhadap kebebasan berekspresi mengalami kemunduran. Sejumlah insiden seperti teror potongan kepala babi dan tikus ke redaksi Tempo yang hingga kini belum terungkap pelakunya menjadi perhatian serius. Terlebih, respons pejabat komunikasi kepresidenan yang justru bergurau dianggap mencederai semangat demokrasi.
“Komentar bergurau dari pejabat negara terhadap aksi teror kepada pers sungguh mencemaskan dan menunjukkan kurangnya empati terhadap kebebasan sipil,” tegas Tata.
Selain itu, kasus tekanan terhadap seorang musisi asal Sukatani yang lagunya viral karena mengkritik aparat kepolisian, serta pembubaran brutal diskusi FTA di Grand Kemang, Jakarta, turut menjadi catatan serius atas kondisi demokrasi saat ini.
Baca Juga: Jogja Food & Beverage Expo 2025 Siap Gaet Investor Global dan Dongkrak Industri Kuliner Nasional
Penegakan Hukum Dinilai Tebang Pilih
Meski Prabowo berjanji akan mengejar koruptor “hingga ke Antartika”, FTA menilai penegakan hukum belum menunjukkan konsistensi. Sejumlah kasus besar seperti dugaan korupsi di Pertamina, kasus pagar laut di PIK 2, hingga mafia peradilan belum dituntaskan.
“Penegakan hukum kita masih gamang saat bersentuhan dengan elite. Ini menggerus kepercayaan publik,” kata Tata.
FTA juga mengkritik privatisasi wilayah pesisir, khususnya kasus pemagaran laut sepanjang 30 kilometer di kawasan Tangerang. Praktik ini tidak hanya membatasi akses nelayan lokal, tetapi juga dinilai melanggar kedaulatan negara atas wilayah maritim.
Baca Juga: APBN Salurkan Rp4,66 Triliun ke DIY: Rp349 M untuk Bansos, Ini Rinciannya
“Pemagaran laut berpotensi dimanfaatkan untuk aktivitas ilegal seperti penyelundupan narkoba dan senjata. Negara seharusnya hadir untuk menjaga, bukan malah memberi celah pada privatisasi wilayah laut,” ujar Tata.
Meski memberikan banyak catatan kritis, FTA menekankan bahwa enam bulan pertama belum bisa dijadikan tolok ukur final atas kinerja pemerintahan Prabowo-Gibran. Namun, refleksi awal ini penting sebagai pijakan untuk koreksi dan perbaikan ke depan.
“Yang kami harapkan adalah pergeseran nyata dari retorika menuju aksi konkret. Pemerintahan Prabowo harus mulai menunjukkan keberpihakan terhadap keadilan sosial, demokrasi, dan kedaulatan rakyat,” tutup Tata. []