Rumah di Ujung Senja: Kisah Cinta, Harapan, dan Kehangatan di Balai Lansia Budi Luhur Yogyakarta

  • Whatsapp
lansia budi luhur jogja
Suasana di BPSTW Budi Luhur Yogyakarta (Pemda DIY)

BacaJogja – Di sebuah sudut Yogyakarta, terdapat rumah yang tak sekadar menjadi tempat bernaung, tetapi juga ruang bagi ratusan hati untuk kembali menemukan hangatnya kasih sayang. Rumah itu bernama Balai Pelayanan Sosial Tresna Werdha (BPSTW) Budi Luhur, milik Pemda DIY—tempat di mana para lansia, atau yang akrab disapa Simbah, menjalani hari tua mereka dengan damai, bermartabat, dan penuh arti.

Di balik bangunan sederhana itu, cinta ditebarkan setiap hari. Para pramurukti—pengabdi yang bekerja dengan hati—menjadi teman, keluarga, dan pendamping bagi para Simbah. Mereka bukan sekadar merawat tubuh yang renta, tapi juga menjaga hati-hati yang mungkin pernah terluka, kehilangan, atau kesepian.

Read More

“Syarat utama untuk tinggal di sini adalah keikhlasan dari Simbah sendiri. Tidak boleh terpaksa. Kalau datang dengan berat hati, biasanya akan muncul banyak masalah,” ujar Kepala BPSTW DIY, Tuty Amalia, membuka kisahnya.

Baca Juga: Keputusan Prabowo: 4 Pulau Tetap Wilayah Aceh, Batal Jadi Milik Sumut

Hari-Hari Penuh Warna di Budi Luhur

Setiap pagi, selepas sarapan, Simbah diajak berjemur dan senam ringan. Hari-hari mereka terisi dengan kegiatan karawitan, keterampilan tangan, pengajian, hingga pemeriksaan kesehatan rutin. Tak ada waktu yang kosong, karena setiap detik di sini berharga.

Dari tangan renta Simbah, lahirlah keset, sapu, kalung, sprei, dan aneka kerajinan tangan yang dijadikan cenderamata untuk tamu. Rupiah yang mereka terima bukan soal besar kecilnya nilai, melainkan rasa bangga bahwa mereka masih berguna.

“Tagline kami Gemati Migunani, artinya merawat dengan kasih agar Simbah tetap merasa berguna dan produktif meski usia sudah senja,” jelas Tuty.

Di sela rutinitas, perhatian juga diberikan pada hal-hal kecil yang kadang terlupakan: kebersihan dan penampilan diri. Ada salon lansia—tempat potong rambut, cuci rambut, perawatan kuku, hingga berdandan. Tujuannya bukan semata-mata mempercantik penampilan, tetapi mengembalikan rasa dihargai.

Baca Juga: Evakuasi Dramatis Jenazah Kepala SMP Muhammadiyah dari Tebing Pantai Ngungap Gunungkidul

Untuk Simbah yang sudah tak mampu bangun dari ranjang, ada Program Rinai Humanis (Ruang Isolasi Nyaman Aman Indah dan Humanis). Mereka diajak keluar menikmati matahari, dipijat lembut, dirawat kulitnya, atau sekadar ditemani mendengar cerita masa lalu.

“Karena meski tubuh mereka lemah, hati mereka tetap ingin ditemani, ingin didengar,” ujar Tuty penuh empati.

Kerja dengan Seratus Hati

Mengelola dua balai untuk 200 Simbah bukan perkara mudah. Setiap Simbah datang dengan latar belakang dan luka yang berbeda. Ada yang rindu keluarga, ada yang ingin pulang tapi tak punya rumah untuk kembali. Emosi mereka naik turun, seperti anak-anak yang kembali belajar memahami dunia.

“Kami di sini harus bekerja dengan hati, dan hati-hati. Bukan Simbah yang harus memahami kami, tapi kami yang harus memahami Simbah,” ucap Tuty, menegaskan filosofi pelayanan mereka.

Membujuk Simbah mandi atau makan kadang membutuhkan waktu berhari-hari. Tidak boleh marah, apalagi memaksa. Semua harus dilakukan dengan kelembutan dan kesabaran.

Baca Juga: Gegara Volume Musik, Perkelahian Kakak Adik di Bantul Picu Kebakaran Rp50 Juta

Meniti Senja dengan Senyum

Salah satu penghuni balai, Sri Siti, telah tinggal di sini sejak 2021. Pandemi memaksanya mencari tempat aman, karena tak lagi memiliki keluarga. Namun, di balai ini, ia menemukan teman baru, kegiatan seru, dan kehidupan yang tetap bermakna.

“Senin karawitan, Selasa cek kesehatan, Rabu keterampilan, Kamis pengajian, Jumat ibadah, Sabtu senang-senang,” ucapnya dengan mata berbinar.

Sri masih mencuci baju sendiri, membersihkan diri sendiri, meski perlahan. Semangatnya tetap menyala. “Yang penting berusaha. Pelan-pelan tidak apa-apa,” katanya.

Baca Juga: Nyawa Hilang di Ujung Jalan: Dari Duka Anggy, Ojol Yogyakarta Bersatu Melawan Begal dan Klitih

Ia juga rutin memeriksa kakinya dan mengonsumsi obat. “Perawat dan dokter di sini baik semua. Ada Bu Yanti, Bu Hani, Pak Siti, semua sayang sama kita,” ucapnya tulus.

Meski jauh dari keluarga, Sri tidak merasa sendiri. “Semoga semua yang merawat di sini diberi umur panjang, kesehatan, dan rezeki lancar. Kalau saya, tinggal menunggu giliran saja,” ucapnya dengan senyum menguatkan.

Tuty menutup kisahnya dengan sebuah pengingat yang menyentuh: “Sebaik-baiknya tempat untuk Simbah tetaplah di rumah, bersama keluarga. Kasih sayang anak dan cucu adalah obat terbaik.”

Balai ini bukan tempat terakhir, melainkan tempat sementara bagi mereka yang butuh ruang penuh cinta. Di masa senja, setiap Simbah hanya ingin satu hal: merasa berarti, dihargai, dan dicintai. []

Related posts