BacaJogja – Langit Makassar siang itu cerah. Jamaah memadati Masjid Darul Falah, Minasa Upa, untuk menunaikan Salat Jumat seperti biasa. Tidak ada yang menyangka, khutbah yang disampaikan hari itu akan menjadi pesan terakhir dari seorang pendakwah kontroversial sekaligus mualaf ternama, Ustaz Yahya Waloni.
Suasana hening saat sang khatib berdiri di mimbar. Suaranya masih lantang, penuh semangat. Ia berbicara tentang pentingnya bertauhid kepada Allah. Namun, ketika khutbah memasuki bagian kedua, sesuatu yang tak terduga terjadi.
“Masih sempat berdiri, lalu jatuh,” ujar Harfan Jaya Sakti, Sekretaris Pengurus Masjid Darul Falah, saat mengenang detik-detik wafatnya sang ustaz. “Sebelum jatuh, beliau masih sempat mengingatkan kita tentang pentingnya tauhid. Itulah kata-kata terakhirnya.”
Baca Juga: Polresta Sleman Gencar Razia Miras: Ciu, Arak Bali, hingga Bekonang Leci Disita
Seketika, suasana masjid berubah. Jamaah terkejut. Beberapa orang segera menghampiri mimbar, mencoba memberikan pertolongan. Ustaz Yahya Waloni langsung dilarikan ke rumah sakit terdekat. Namun, takdir telah tiba—ia dinyatakan meninggal dunia di usia 55 tahun.
Meninggal di Tempat yang Dicintainya
Bagi sebagian orang, berpulang di atas mimbar adalah akhir yang mulia. Apalagi bagi seorang dai yang menghabiskan hidupnya untuk berdakwah, meskipun penuh kontroversi. Yahya Waloni menutup lembar kehidupannya saat sedang melakukan apa yang paling ia cintai: menyampaikan pesan keimanan di hadapan umat.
Beberapa hari sebelumnya, ia juga sempat menjadi khatib Salat Iduladha di Jalan Rajawali, Makassar. Tak ada tanda-tanda menurun kondisi kesehatannya. Justru khotbah Id-nya disambut hangat oleh warga.
Jenazah Yahya Waloni disemayamkan terlebih dahulu di masjid sebelum akhirnya dibawa ke rumah duka di Jakarta. Hingga artikel ini ditulis, belum ada pernyataan resmi soal penyebab pasti wafatnya, namun indikasi awal menunjukkan ia mengalami kondisi kritis secara mendadak.
Baca Juga: Salat Iduladha di Lawang Sewu: Harmoni Ibadah dan Sejarah di Jantung Semarang
Dari Pendeta ke Mimbar Islam
Muhammad Yahya Waloni bukan sosok yang asing di tengah masyarakat. Lahir di Manado pada 30 November 1970, ia tumbuh dalam keluarga Kristen yang taat dan bahkan sempat menjadi pendeta serta akademisi.
Namun, jalan hidupnya berubah drastis pada Oktober 2006. Ia dan sang istri memutuskan memeluk Islam, sebuah langkah besar yang mengubah segalanya. Namanya pun berubah—dari seorang pastor menjadi seorang ustaz. Dari mimbar gereja ke mimbar masjid.
Perjalanan spiritual itu ia tuangkan dalam ceramah-ceramahnya yang menyebar luas di media sosial. Ia dikenal luas karena gaya ceramahnya yang lugas, bahkan tak jarang menyinggung isu-isu sensitif lintas agama.
Popularitasnya yang besar juga membawanya ke pusaran kontroversi. Pada 2022, ia dijatuhi hukuman lima bulan penjara karena kasus ujaran kebencian bernuansa SARA. Seusai menjalani hukuman, Yahya Waloni sempat menyampaikan permintaan maaf kepada umat Nasrani dan menyatakan akan lebih berhati-hati dalam berdakwah.
Baca Juga: Ketika Langit Kampus Mendung: Pembekuan Status Mahasiswa UGM di Balik Tragedi yang Merenggut Nyawa
Akhir yang Menyentuh dan Menggetarkan
Banyak yang bersedih, banyak pula yang mengingat-ingat kembali sisi lain Yahya Waloni—sosok yang keras dalam berdakwah, namun juga pernah merunduk dalam penyesalan dan memohon maaf. Seperti hidupnya, wafatnya pun memantik berbagai reaksi. Tapi satu hal yang pasti, ia berpulang dalam keadaan sedang menyampaikan khutbah, di rumah Allah, di hadapan jamaah.
Tidak semua orang diberikan akhir yang seistimewa itu. Tak semua pendakwah mendapat kesempatan menyampaikan khutbah terakhirnya di mimbar.
Dan kini, khutbah itu menjadi penutup hidupnya—khutbah yang tidak akan pernah selesai, tapi akan dikenang selamanya. []