BacaJogja – Ketimpangan kepemilikan kekayaan di Indonesia semakin mencolok. Plt Ketua Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (Pusekra), Dr. Rachmawan Budiarto, mengungkapkan bahwa kondisi ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di tingkat global. Dari total populasi dunia sebesar 6,1 miliar jiwa, sekitar 1,1 miliar tergolong miskin. Lebih mengkhawatirkan lagi, sekitar 0,7% populasi menguasai 18,4% kekayaan dunia, sementara lebih dari 70% populasi hanya memiliki akses terhadap 2,7% kekayaan yang ada.
“Ketimpangan ini menunjukkan perlunya kebijakan ekonomi yang lebih adil dan berkelanjutan agar kesejahteraan dapat dirasakan secara lebih merata, terutama bagi masyarakat pinggiran,” ujar Rachmawan dalam ceramah Safari Ilmu di Bulan Ramadhan (Samudra) di Masjid Kampus UGM, Kamis (13/3).
Baca Juga: Brotoseno 65 Tahun Tetap Berbahaya, Sebuah Perayaan Penuh Energi dan Makna
Prinsip Ekonomi Islam sebagai Solusi
Dalam ceramah bertajuk “Kebijakan Inklusif: Membangun Ekonomi yang Berkelanjutan tanpa Meninggalkan Masyarakat Pinggiran”, Rachmawan menyoroti prinsip ekonomi Islam yang berlandaskan empat pilar utama: tauhid, keseimbangan, kehendak bebas, dan tanggung jawab.
- Tauhid Prinsip tauhid menekankan bahwa kekayaan bukan hanya untuk kepentingan pribadi, tetapi juga memiliki fungsi sosial. “Dalam Islam, pelaku ekonomi tidak hanya mencari keuntungan materi semata, tetapi juga berbagi dengan sesama guna menghindari eksploitasi,” jelasnya.
- Keseimbangan Islam mendorong keseimbangan dalam ekonomi untuk mencegah monopoli, sentralisasi modal, dan praktik penimbunan barang demi mendongkrak harga. “Keseimbangan ini penting untuk menghindari kesenjangan sosial yang semakin tajam,” tambahnya.
- Kehendak Bebas Manusia diberi kebebasan dalam menjalankan kehidupannya, tetapi kebebasan ini harus disertai kesadaran bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi.
- Tanggung Jawab Tanggung jawab dalam ekonomi Islam hadir sebagai konsekuensi dari tauhid, keseimbangan, dan kehendak bebas. “Ini berlaku baik secara individu maupun kolektif,” ujar Rachmawan.
Baca Juga: 13 Maret 1755: Titik Awal Sejarah dan Budaya DIY yang Menginspirasi Perjuangan Bangsa
Langkah Konkret Mengatasi Kemiskinan
Sebagai solusi atas ketimpangan ekonomi, Rachmawan menegaskan perlunya langkah konkret yang sesuai dengan prinsip Islam:
- Masyarakat harus didorong untuk bekerja sesuai dengan keahlian dan kemampuannya guna meningkatkan produktivitas.
- Proyek ekonomi berkelanjutan harus diperbanyak untuk menciptakan peluang usaha dan lapangan kerja.
- Praktik riba yang merugikan masyarakat miskin harus dihindari.
- Pengelolaan keuangan yang baik perlu diterapkan agar sumber daya dapat digunakan secara optimal.
Selain itu, peran orang-orang kaya dalam membantu perekonomian masyarakat melalui zakat, infak, dan sedekah sangatlah penting. “Namun, yang tak kalah penting adalah pemanfaatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Baitul Mal secara optimal agar kebijakan ekonomi benar-benar berdampak bagi kesejahteraan rakyat,” katanya.
Menuju Ekonomi Berkelanjutan
Melalui penerapan prinsip-prinsip ekonomi Islam, diharapkan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dapat tercapai tanpa meninggalkan masyarakat pinggiran. “Keberlanjutan bukan hanya soal menjaga alam, tetapi juga memastikan bahwa setiap individu memiliki kesempatan yang adil untuk berkembang dan meraih kesejahteraan,” pungkas Rachmawan.