BacaJogja – Rencana Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang menjadikan vasektomi sebagai syarat menerima bantuan sosial (bansos) menuai kritik tajam dari kalangan akademisi. Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM), Dr. Wisnu Setiadi Nugroho, menilai kebijakan tersebut sangat diskriminatif dan berisiko menimbulkan ketidakadilan sosial yang lebih dalam.
“Kebijakan seperti ini terlalu ekstrem dan tidak inklusif. Justru bisa menimbulkan kesan pemaksaan terhadap kelompok rentan,” ungkap Wisnu saat ditemui di FEB UGM, Senin (5/5/2025).
Menurutnya, memang benar bahwa jumlah anak yang lebih sedikit dapat mengurangi beban rumah tangga dan membantu keluar dari jerat kemiskinan. Namun menjadikan vasektomi—yang merupakan tindakan medis permanen—sebagai syarat bansos dinilai tidak manusiawi dan menyalahi prinsip keadilan sosial.
Baca Juga: Menantang Pakem, Merangkul Tradisi: Kisah Rizki Rahma dan Jalan Sunyi Dalang Perempuan Yogyakarta
“Niatnya ingin membantu, tapi malah menimbulkan eksklusivitas. Bansos seharusnya bersifat inklusif dan menjunjung tinggi keadilan,” tambahnya.
Risiko Sosial dan Hilangnya Kepercayaan Publik
Lebih jauh, Wisnu memperingatkan bahwa jika kebijakan tersebut benar-benar dijalankan, hal itu bisa menciptakan narasi yang diskriminatif dan koersif dalam hal kontrasepsi. Dalam jangka panjang, ini dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap program pemerintah, termasuk bansos dan kebijakan kependudukan lainnya.
Ia juga menyebut bahwa kelompok miskin memang cenderung memiliki anggota keluarga lebih banyak dibanding kelompok menengah atas. Namun solusi mengatasi kemiskinan seharusnya melalui pendekatan edukatif, bukan koersif.
Baca Juga: Lomba Mancing Kebonkliwon 2025: Perebutkan Hadiah Jutaan Rupiah & Yamaha Mio M3!
Belajar dari India dan Tiongkok
Wisnu menyinggung pengalaman negara lain yang pernah menggunakan pendekatan serupa. Program satu anak di Tiongkok, misalnya, menghasilkan fenomena “missing girls” akibat ketimpangan gender. Di India, program sterilisasi massal pada 1970-an justru memicu protes besar-besaran dan pelanggaran HAM.
“Negara seharusnya tidak memiliki hak untuk memaksa warga menjalani tindakan medis tertentu seperti vasektomi. Hak reproduksi adalah bagian dari hak dasar manusia,” tegasnya.
Sebagai alternatif, Wisnu merekomendasikan penguatan program Keluarga Berencana (KB) sukarela, seperti yang pernah sukses dijalankan di era Orde Baru. Pendekatan berbasis edukasi, insentif, dan partisipasi masyarakat dinilai lebih efektif dan manusiawi.
Baca Juga: Jejak Sejarah Peta Bantul 1944: Penyederhanaan Wilayah di Masa Pendudukan Jepang
Ia juga mencontohkan kebijakan di Amerika Serikat dan Inggris yang membatasi jumlah penghuni rumah sesuai kapasitas kamar tidur, sebagai bentuk pendekatan tidak langsung terhadap pengendalian populasi.
“Di AS dan UK, rumah dua kamar maksimal untuk lima orang. Kebijakan seperti itu lebih halus, dan bisa dipadukan dengan edukasi serta penawaran kontrasepsi yang beragam,” jelasnya.
Potensi Moral Hazard
Tak hanya risiko sosial, Wisnu juga mengingatkan potensi terjadinya moral hazard, seperti maraknya praktik ilegal berupa surat vasektomi palsu atau klinik gelap, jika bansos digunakan sebagai alat pemaksaan keputusan medis.
Sebagai solusi jangka panjang, Wisnu menyarankan pendekatan yang partisipatif dan edukatif, di antaranya:
- Edukasi reproduksi menyeluruh
- Insentif untuk peserta KB sukarela
- Voucher kontrasepsi gratis
- Sistem insentif sosial non-paksaan
“Tujuan pengendalian populasi tetap bisa dicapai, tapi dengan cara yang lebih beradab dan menghormati hak-hak warga negara,” pungkasnya. []