BacaJogja – Di wajah Varen Syifa Maudina (19), senyum tak pernah absen. Mahasiswi baru Prodi Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian UGM ini berhasil menembus jalur SNBP dengan capaian yang tak hanya membanggakan, tapi juga menyentuh hati: pembebasan UKT 100 persen.
Namun di balik gemilang prestasi itu, tersimpan kisah perjuangan panjang dan getir yang ditempa sejak dini—kisah tentang cinta seorang ibu, mimpi seorang anak, dan tekad yang tak tergoyahkan oleh keadaan.
Sejak kecil, Varen tumbuh dalam pelukan ibu tunggal. Sang ayah pergi, tak kembali. Di saat bersamaan, gempa dahsyat Jogja 2006 mengguncang kehidupan mereka—secara harfiah dan batiniah.
Baca Juga: Beda Versi Kejagung dan Wilmar Soal Rp 11,8 Triliun Dana Korupsi Ekspor Sawit
Usaha keluarga hancur, rumah tangga retak, dan hanya tersisa satu hal: kasih sayang seorang ibu bernama Siti Darojah (53) yang memutuskan menjadi penjual makanan di kantin SD di kawasan Jetis, Bantul, Yogyakarta, demi kelangsungan hidup kedua anaknya.
“Saya memprioritaskan anak-anak, apa pun saya lakukan dan saya fokuskan untuk kehidupan mereka,” ujar Siti dengan mata yang tampak menyimpan lautan kenangan.
Setiap subuh, Varen kecil sudah terjaga. Ia membantu sang ibu menyiapkan dagangan sebelum berangkat ke sekolah. Bahkan sejak SD, ia telah tiba di gerbang sekolah sebelum matahari muncul, agar sang ibu bisa segera membuka lapaknya.
Tak hanya itu, Varen pun membawa sebagian jualan ibunya untuk dititipkan di kantin sekolahnya. Sebuah bentuk dukungan diam-diam dari seorang anak yang memahami lelah ibunya lebih dari usianya.
Baca Juga: Duka Tanpa Curiga: Keluarga Ikhlas, Polisi Tutup Kasus Kematian Tragis di Pantai Ngungap Gunungkidul
Demi menghindari tekanan sosial dan pertanyaan menyakitkan soal sang ayah, Siti sengaja menyekolahkan Varen jauh dari rumah. Semua itu demi menjaga semangat dan harga diri anak-anaknya. “Sejak SD sampai SMA sekolah Varen memang jauh dari rumah. Itu saya lakukan supaya dia nggak dapat tekanan sosial kalau bersekolah di sekitar lingkungan rumah,” tuturnya penuh haru.
Meski hidup dalam keterbatasan, Varen tak pernah membatasi mimpinya. Sejak SMP, ia telah menetapkan hati: kelak harus kuliah di UGM. Kecintaannya pada kimia mengarahkannya pada jurusan Teknologi Pangan. Tak bisa ikut bimbel bukan alasan. Ia belajar lewat les murah, materi daring, dan tentu saja—doa.
“Ibu saya tidak pernah bilang keberatan. Selalu mendukung dan membebaskan pilihan saya,” kata Varen. “Saya percaya, kalau kita niat cari ilmu, Allah pasti kasih jalan.”
Baca Juga: Hidup Sederhana, Mimpi Besar: Kisah Inspiratif Febi, Gadis Godean Sleman Menuju UGM
Pendiam, tapi cemerlang. Begitu kesan Varen di mata teman dan gurunya. Ia kerap meraih peringkat atas dan menjuarai lomba menggambar sejak kecil. Lebih dari sekadar nilai, Varen menjunjung tinggi pesan ibunya: jujur, rendah hati, mandiri, dan tetap bersedekah walau dalam kesempitan.
Kini, setelah resmi menjadi mahasiswa UGM, Varen tidak berhenti bermimpi. Ia ingin melanjutkan studi ke jenjang magister dan mengabdi di sektor pemerintahan atau BUMN. “Saya akan buktikan pada Ayah saya bahwa anak yang ditinggalkannya bisa melakukan sesuatu yang besar,” ucapnya penuh semangat.
Kisah Varen adalah gambaran kekuatan perempuan dalam dua wajah: sang ibu yang tak menyerah, dan sang anak yang menjawab cinta itu dengan prestasi. Sebuah perjalanan hidup yang bukan hanya layak dikenang, tetapi juga dijadikan inspirasi.
“Untuk semua yang tengah berjuang,” pesan Varen, “dinikmati saja prosesnya. Karena suatu hari nanti, kita pasti bangga dengan apa yang telah kita perjuangkan.” []