BacaJogja — Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sri Sultan Hamengku Buwono X, menegaskan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap dapur penyedia makanan MBG setelah insiden keracunan massal yang menimpa ratusan siswa SMA Negeri 1 Yogyakarta. Menurutnya, masalah utama bukan pada program makanannya, melainkan pada kapasitas dan kesiapan dapur dalam memproduksi ribuan porsi.
“Ya saya kan sudah mengatakan, pokoknya ya gimana kalau mau bikin 3.000 porsi ya nggak bisa toh. Kan biasanya masak cuma 50 porsi, terus telung ewu, ya kan? Dengan dapur tradisional disuruh masak 3.000, itu jam piro le arep tangi?” ujar Sri Sultan di Kompleks Kepatihan, Yogyakarta, Jumat (17/10).
Sri Sultan menjelaskan, pengolahan makanan dalam jumlah besar memerlukan sistem penyimpanan dan peralatan dapur yang memadai. Tanpa fasilitas seperti freezer dan gudang bahan yang layak, risiko makanan rusak hingga menimbulkan keracunan sangat besar.
Baca Juga: Pemda DIY Terima Hibah Aset Rampasan KPK Rp11 Miliar, Termasuk 3 Unit Jet Ski untuk Satlinmas Rescue
“Kalau ayam dan daging sapi dimasak besok, paling lambat sore ini beli. Tapi kalau didiamkan saja, punya freezer besar nggak? Kalau nggak, ya sudah biru. Digoreng ya pasti bikin mabuk,” tegas Sultan.
Ia menilai masih banyak pelaksana lapangan yang belum memahami risiko teknis dalam produksi makanan massal. Karena itu, ia meminta adanya evaluasi menyeluruh terhadap sistem dan pelaksana program, bukan hanya sekadar sertifikasi formal.
“Tapi kan hal-hal seperti itu kalau tidak dipahami mereka yang berada di dapur, sampai kapan pun yang keracunan masih ada. Berarti perlu evaluasi secara menyeluruh,” jelasnya.
Selain aspek teknis, Sultan juga menyoroti efisiensi tenaga kerja di dapur besar. Menurutnya, jumlah juru masak harus proporsional dengan jumlah porsi yang diproduksi.
“Sekarang misalnya satu orang masak 3.000 porsi kan nggak mungkin. Harusnya satu grup berisi delapan orang bisa masak 50 porsi. Kalau 3.000 porsi dibagi ya tinggal hitung berapa grup yang dibutuhkan. Itu lebih logis daripada satu unit suruh masak 3.000 porsi,” ujarnya.
Sultan juga menekankan pentingnya sistem pengawasan yang realistis dan berkelanjutan, bukan hanya administratif. Ia mencontohkan, dapur tradisional yang masih menggunakan arang atau elpiji tidak mungkin mampu memproduksi ribuan porsi makanan dalam waktu singkat.
“Sekarang masalahnya, maunya itu diawasi terus apa punya sertifikat. Tapi kalau dapurnya itu nganggo areng ya kan, atau pakai elpiji tapi 2.000–3.000 porsi, nggak akan bisa. Rumah makan aja nggak ada yang buka sampai 3.000 porsi,” tutur Sultan.
Ia menambahkan, pengawasan dan sertifikasi dapur sebaiknya menyesuaikan kondisi lapangan agar tidak hanya fokus pada administrasi, tetapi juga kelayakan teknis.
“Yang 50 porsi saja mungkin bangunnya setengah lima pagi. Kalau 3.000 porsi ya jam 12 malam harus sudah mulai. Terus suruh makan jam 10 pagi, ya pasti keracunan,” tutup Sri Sultan. []






